Rabu, 25 November 2009

Sejarah Kantor Gubernur Jawa Timur.


Sepanjang sejarahnya, sejak sebelum kemerdekaan hingga saat ini Kantor Gubernur Jawa Timur telah mengalami perpindahan lokasi beberapa kali. Di jaman pemerintahan Belanda, pada awalnya Kantor Gubernur bertempat di sebuah gedung di Jalan Jembatan Merah, Surabaya. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 1929 dibangunlah sebuah kantor baru yang berlokasi di Jalan Pahlawan 18 (sekarang Jalan Pahlawan 110). Pembangunan gedung tersebut selesai pada tahun 1931, seiring dengan itu kegiatan pemerintahan pun dipindahkan ke kantor baru yang kemudian difungsikan sebagai Gouverneurs Kantoor (Kantor Gubernur), Residensi Kantoor (Kantor Residen), dan CKC. Kantor Gubernur yang berlokasi di Jalan Pahlawan ini (sekarang dikenal dengan sebutan Kantor Gubernur lama) berdiri di atas sebidang tanah seluas 11.612 m?.

Bangunan pokoknya terdiri atas 2 (dua) lantai bergaya ?Roma? dengan luas bangunan 7.865 m? yang dimodernisasi. Pembangunan gedung ini menelan biaya sebesar F 805.000. Selama ini bangunan di Jalan Pahlawan inilah yang lebih dikenal masyarakat luas sebagai gedung Kantor Gubernur Jawa Timur. Telah mengalami renovasi beberapa kali, baik karena kerusakan-kerusakan akibat pengeboman pada masa perang kemerdekaan, maupun karena disesuaikan dengan kebutuhan yang ada.

Kantor Gubernur dibangun dengan kapasitas 300 (tiga ratus) orang pegawai guna melayani penduduk Jawa Timur yang masih berjumlah 10 (sepuluh) juta jiwa. Tercatat beberapa Gubernur pada masa Pemerintahan Belanda yang menggunakan gedung tersebut sebagai Kantor Gubernur.

Pada masa Pemerintahan Jepang gedung tersebut difungsikan sebagai Kantor Syuucho (Karesidenan) mengingat jabatan gubernur dalam organisasi Pemerintahan Jepang tidak dikenal. Jabatan gubernur dihidupkan lagi pada masa kemerdekaan RI dan Kantor Gubernur kembali difungsikan sebagai Kantor Gubernur Jawa Timur, Kantor Karesidenan Surabaya, Kantor CKC dan Kantor Kepolisian Karesidenan. Dalam perkembangannya, Kantor Kepolisian Karesidenan dan Kantor CKC selanjutnya menempati gedung tersendiri di Jalan Sikatan dan Jalan Indrapura, sedangkan Kantor Karesidenan sebagai Kantor Pembantu Kepala Daerah Propinsi Jawa Timur dipindahkan ke Jalan Raya Gubeng, Surabaya.

Tahun 1972 di depan bangunan utama dibangun gedung berlantai tiga yang digunakan sebagai gedung DPRD Propinsi Jawa Timur sebelum akhirnya dipindahkan ke Jalan Indrapura. Di kompleks gedung ini juga terdapat bekas ruang sidang DPRD dan sekarang diberi nama Binaloka Adikara yang berarti tempat pembinaan hal-hal/barang-barang yang baik.
Semua Direktorat dan Biro-biro dari Sekretariat Daerah Tingkat I Jawa Timur, termasuk Inspektorat Daerah dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), saat itu ditempatkan di gedung ini, kecuali Direktorat khusus dan Bagian Protokol yang menempati bangunan di halaman Jalan Pemuda 7 Surabaya.

Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk di Jawa Timur, semakin meningkat pula aktivitas dan beban kerja yang harus dipikul pemerintah daerah. Karena itu pemekaran jumlah pegawai Kantor Gubernur pun tidak bisa dihindari. Konsekuensinya, penambahan ruangan pun menjadi kebutuhan yang mutlak mengingat kantor yang ada hanya berkapasitas 300 pegawai.

Untuk lebih meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, maka dibangunlah kantor baru yang juga terletak di lingkungan Jalan Pahlawan 18 Surabaya. Lokasi gedung baru ini tepat berada di belakang gedung lama. Di sebelah Utara berbatasan dengan Jalan Johar, di sebelah Timur Jalan Sulung Sekolahan, di sebelah Selatan Komplek Perumahan dan di sebelah Barat Kantor Gubernur lama.

Tanggal 10 Oktober 1981 pembangunan gedung baru pun dilaksanakan dengan ditandai pemancangan tiang ?paku bumi? pertama. Gedung baru Kantor Gubernur diharapkan tetap mempunyai hubungan langsung dengan gedung lama, baik secara fisik maupun psikologis. Karena itu gedung baru yang dibangun mempunyai ?ciri khas? yang sama dengan gedung lama, yaitu: * Mempunyai orientasi yang sama terhadap Tugu Pahlawan (orientasi keluar).

* Terdapat suatu ruangan terbuka sebagai ?space? penghubung antara bangunan lama dan bangunan baru yang sekaligus berfungsi sebagai lapangan upacara. *

Sebagaimana bangunan lama, bangunan baru dominan dengan warna putih. Tahun 1983 gedung baru ini mulai difungsikan, terdiri atas 8 (delapan) lantai dan ruang kerja Gubernur berada di lantai 7 (tujuh). Di lantai tersebut juga terdapat ruang kerja Wakil Gubernur, Sekretaris Daerah dan Asisten Sekretaris Daerah.Semula Kantor Gubernur lama ditempati oleh Badan Pengawas Propinsi dan sebagian lainnya difungsikan sebagai Kantor Badan Pengelolaan Data Elektronik Propinsi.Sejak tahun 2002, dua instansi pemerintah itu dipindahkan ke tempat lain dan gedung ini dikembalikan seperti fungsi awal sebagai kantor Gubernur Jawa Timur. Penataan ini dilandasi pertimbangan historis bahwa sejak Zaman pemerintahan Belanda hingga kemerdekaan, para gubernur berkantor di gedung tersebut.

Sumber : Pemerintah Prov.Jawa Timur

Selasa, 17 November 2009

2 Keharuan Saat Menyaksikan Pacquaio VS Mquel Cotto



Menggunakan kekuatan dan kecepatan yang luar biasa, Pacquiao mengangkat gelar ketujuh dalam tujuh kelas berbeda. Kemenangan akan semakin memperingan dan memantapkan posisinya di kompetisi . Sejak awal , Cotto itu terpojok.

Pada akhir pertarungan, Cotto pergi dengan wajah berdarah dan itu setelah mendapat pukulan brutal, yang pada akhirnya menyatakan Pacquiao pemenang.Pada awal babak ketiga, Pacquiao menjatuhkan si perkasa Cotto dengan tangan kanan. Dan para fans, muncul dalam jumlah besar untuk menonton bintang mereka berkelahi. Mereka pikir itulah akhir pertandingan.

Tapi itu tidak.Pacquiao terus mengejarnya tanpa henti, meninggalkan sedikit sekali pilihan untuk Cotto yang hanya berusaha untuk membela diri. Dengan darah mengalir di wajahnya Cotto hanya mencoba untuk bertahan.Apa pun hasilnya, penggemar di seluruh dunia menikmati pertarungan intensitas tinggi.Penggemarnya merayakan momen bersejarah dengan sorak-sorai memekakkan telinga di bar, gimnasium dan kamp-kamp tentara di seluruh negeri. Mereka gembira luar biasa setelah melihat bintang mereka berdebar-debar tanpa henti.

Saat emnonton tayangan tinju ini timbul 2 keharuan dalam hati saya.Keharuan pertama saya adalah, pada saat commercial break disitu ada Pertamina menayangkan berkali-kali mengenai produknya yang sudah mengepakkan pangsa pasar di Australia. Saya bangga dengan kondisi ini sebagai warganegara Indonesia, ternyata dari ``ribuan`` merek olie di dunia ini produk hasilkarya anak negeri ini sudah masuk kekancah kompetisi olei di luar negeri. Saya bangga punya Pertamina.

Seperti produk-produk Indonesia lainnya yang telah diakui oleh luarnegeri, Pertamina telah memulainya. Bahkan pengusaha luar negeri menggambarkan produk olie Pertamina ini akan prospek di mancanegara. Apapun hasil yang akan direngkuh oleh Pertamina dari hasil pemasaran di luar negeri ini, setidaknya sudah dapat dibanggakan.

Keharuan kedua, yah Philipina adalah sama dengan Indonesia merupakan negara berkembang di Asia Tenggara, tetapi dengan bangga saya katakan Indonesia masih lebih besar mempunyai sumber daya manusia daripada Philipina, namun saya terharu mengapa kita belum bisa mencetak petinju sekaliber Many Pcquiao? Kapan? Akankah Chris John? Yach saya berdoa mudah-mudahan chris John tetap terus melaju dalam kancah tinju pro , bahkan akan mempunyai gaung lebih hebat dari sekedar si Pacman! Yang pada pertandingan melawan Cotto dia seagai penantang yang justru bayarannya lebih besar!(Nanang Kristyo)

Jumat, 13 November 2009

Alexander Graham Bell 3 Maret 1847 - 1922



Alexander Graham Bell (1847-1922) adalah penemu dari Amerika dan pengajar bagi orang tuli, dan dia dikenal sebagai penemu telepon (telephone).

Lahir pada 3 Maret 1847, di Edinburgh, Skotlandia, dan mendapat pendidikan di Universitas Edinburgh dan London. Kemudian tahun 1870 dia pindah ke Canada dan kemudian pindah lagi ke Amerika pada tahun 1871. Di Amerika dia mulai mengajar orang yang bisu dan tuli, mempopulerkan system yang disebut 'bahasa visual'. System yang dikembangkan oleh ayahnya, Alexander Melville Bell, yang menunjukkan bagaimana bibir, lidah, dan tenggorokan digunakan dalam menggambarkan suara.

Pada masa kanak-kanaknya, dia telah memperlihatkan rasa ingin tahu yang sangat besar pada dunia ini, yang menyebabkan dia sering mengumpulkan contoh-contoh tumbuhan. Bersama teman baiknya yang memiliki penggilingan gandum yang juga merupakan tetangganya, dia sering membuat keributan, dan suatu hari ayah temannya berkata, "Mengapa kalian tidak membuat sesuatu yang lebih berguna?" Saat itu Alexander Graham Bell bertanya, apa yang perlu di kerjakan. Dan ayah teman baiknya memberi tahu bahwa gandum harus di pisahkan dengan kulitnya. Pada umur 12 tahun, Alexander membuat peralatan sederhana yang mengkombinasikan dayung yang berputar dengan serangkaian sikat dari paku untuk memisahkan gandum dengan kulitnya. Peralatan tersebut dapat beroperasi dengan baik selama bertahun-tahun, dan sebagai 'hadiahnya', ayah temannya memberikan mereka kesempatan untuk bermain di sebuah bengkel (workshop) kecil untuk membuat 'penemuan baru'.

Sejak usia 18 tahun, Bell telah meneliti gagasan bagaimana mengirimkan dan mentransfer perkataan. Tahun 1874 saat dia mengerjakan telegraph, dia mengembangkan gagasan dasar yang baru bagi telephone. Percobaan yang dilakukannya bersama asistennya Thomas Watson akhirnya terbukti berhasil pada tanggal 10 Maret 1876, saat itu kata yang ditransmit adalah: "Watson, come here; I want you." (Watson, datanglah kemari, saya membutuhkanmu). Serangkaian demonstrasi penggunaan telephone, telah memperkenalkan telephone ke seluruh dunia dan dipimpin oleh perusahaannya, Bell Telephone Company pada tahun 1877.

Sumber :
www.ceritakecil.com/tokoh-ilmuwan-dan-penemu/Alexander-Graham-Bell-4



Senin, 02 November 2009

Musnahnya Sebuah Hakekat.


Masuk ke salah satu ruangan rumah Bhanu yang berada di pinggir jalan raya terlihat seperangkat gamelan jawa. Tertata rapi meskis sudah jarang digunakan. Lantai rumah masih menggunakan bin teraso. Sepertinya rumah Belanda sebelumnya. Tembok setiap ruangan pilar-pilarnya besar dan beratap tinggi. Bila masuk ke beranda rumah ini terasa sejuk, karena jarak rumah dengan jalan raya dibatasi dengan berbagai tumbuhan produktiv seperti buah mangga, jambu air dan lain-lain.

Bhanu hidup hanya dengan seorang adiknya Wisnu, serta keduaorangtuanya yang berasal dari Jawa Tengah. Ibunya sopan sekali dengan kromo inggil yang halus, kadang tak tahu apa arti yang diucapkannya. Demikian pula bapaknya yang seorang guru dan pelatih gamelan. Sepintas dapat diyakini keluarga ini masih punnya titah bangsawan dan ningrat Jawa Tengah yang masih memegang teguh adat istiadat Jawa.

Semua aturan hirarki antara anak dan orang tuan, mas dan adhi masih saja terpelihara dengan rapi dalam suasana rumah ini. Karena kalau tidak ibu pasti akan menegur dengan halus dan itu harus dituruti. Kadang juga bisa marah meskipun dengan kata yang halus tetapi bermakna dalam bagi kedua puteranya itu. Bahkan pernah Wisnu sepulang sekolah membuka sepatu kemudian menaruhnya dengan asal-asalan tidak tertata ditempat yang telah disediakan, ibu marah besar kepada Ipah pembatunya karena menolong merapikan sepatu Wisnu yang tidak tertata rapi.

Ke sekolah sengaja tidak diberi uang jajan dengan alasan takut membeli jajan sekolah yang tidak bersih dan tidak hygienis. Air minum dan kue sanck disediakan dari rumah. Ibu trauma dengan kejadian yang dialami Bhanu. Sepulang sekolah muntah-muntah karena diajak minum es tape dipinggir jalan oleh teman-teman SMA nya dulu. Baru ketahuan dan matur ibu saat diinfus di rumah sakit milik perkebunan.

Meningjak dewasa saat ini ibu semakin cerewet. Dengan status sosial yang diemban Bhanu sebagai karyawan sebuah bank negara, setiap kali selalu terngiang nama Anggraeni. Gadis yang juga masih “berbau” keraton puteri bapak Sudrajad yang tidak lain adalah teman semasa muda keluarga ini.

“Ini dapat kiriman sulaman buat almari hias, dari Bu Drajad`` kata ibu ketika Bhanu baru pulang kerja.

“Susah loh le (le: sebutan untuk anak lelaki) buat seperti ini neh ora tlaten” sambung ibu. Bhanu diam saja meski tahu ibu ingin respon tentang oleh-oleh yang Bhanu yakin itu pasti dibuat oleh Anggraeni, sambil terus mengunyah sambal goreng kesuakaannya.

“Kamu kapan ke Jogja le ?`` rayu ibu pada Bhanu
“Bune, Bhanu masih belum bisa dalam bulan ini” sahut Bhanu terkesan malas.
“Njur kapan?”
“Nantilah Bune, pasti Bhanu ke Jogja”
“Mampir yo ke rumah Bu Drajad. Ora enak dikasih oleh-oleh ora mbalesi”
“Di paket saja Bune” sanggah Bhanu dengan nekad.
“Loh kowe opo ora kangen Eny (Anggraeni) toh”
Inilah sebetulanya yang ingin ibu sampaikan pada Bhanu dari seluruh isi percakapan itu. Bhanu sudah tahu trik-trik ibu masalah usahanya untuk mendekatkan gadis Jogya itu dengannya.
“Injih Bu” itu saja jawaban Bhanu

***


Setiap gerak langkah pria gagah dan tampan ini kelihatan kaku. Irama kediktatoran ibundanya melekat erat dalam setiap geraknya. Sementara perjalanan panjang yang tidak pernah diceritakannya pada ibu tentang hubungan asmaranya dengan Sukarsih puteri Kepala Kantor Pos, ada halangan bagai tembok raksasa di China untuk menceritakan. Bagaiaman ibu tahu nanti apabila pria putih bersih ini telah menjalin hubungan dan telah mencampakkan Anggraeni pilahan Bune?

Hingga pada suatu saat kebetulan ketika bulan purnama tengah malam sengaja Bhanu mengajak ibunya duduk di teras rumah tua yang kokoh, keinginannya terpaksa tertumpah atas kejujuran hatinya untuk mencintai Sukarsih.

“Bune pangapunten (maaf). Kejujuran cinta dalam hati Bhanu berbicara lain”
“Makasudmu opo to Le?”
“Sebagai lelaki Bhanu punya dasar cinta yang hakiki pada seorang gadis”
“Ngomongmu koq malah aneh to Le.Kemudian maksudmu itu apa?” diucapkan ibu dengan lembut tetapi dalam.
“Bune, ijinkan Bhanu mencintai wanita yang bukan Angraeni” Bhanu agak berkeringat nerves.
“Njur piye? Bagaimana ibu harus mengatakan ini kepadamu sebagai anak yang telah ibu besarkan?” perkataan ibu kali ini tidak sehalus biasanya.

Suasana hening sejenak. Bhanu mulai kacau. Dia mempunyai hakiki cinta yang mendasar, sementara yang dihadapinya saat ini adalah orang yang telah membesarkannya bersama Wisnu adhinya. Teringat Bhanu saat keluarga besar Sudradjat mengunjunginya beberapa waktu lalu. Anggraeni gadis putih, berambut ikal khas keraton, dengan alis wulan naggal sepisan (bagai bulan jawa tanggal satu untuk alis yang indah). Keluarga ini telah membentuk sebuah keputusan untuk menjodohkan Bhanu dengan Anggraeni kelak.

“Mohon ampun Bune, tolong Bhanu Bune.Ijinkan Bhanu mencintai Sukarsih“
“Bhanu, tidakkah kamu merasa kasihan pada Bapak, bagaimana pertalian ini sudah dijalin.Iki ora biso ditawar Le“

Tidak tahan dan agar tidak larut dalam emosi, perlahan Bhanu pamit pada ibu dan masuk dalam kamar. Pikirannya melayang. Terbayang Sukarsih yang terakhir ditemuinya di toko buku Gramedia. Gadis sederhana yang telah mengguncakan hati. Dia telah mengerti makna kebersamaan yang telah hampir satu tahun dilaluinya bersama Bhanu. Begitu dewasanya Sukarsih menghadapi rintangan keluarga lelaki yang dikenalnya ini. Bagi Sukarsih, rumah Bhanu yang asri itu tak ubahnya seperti neraka. Pastilah kekecewaan yang akan didapatinya bila harus menemui ibu di dalam sana. Tak akan ada artinya. Bahkan Sukarsih sangat menyayangkan sikap keluarga itu meski sangat memaklumi adat istiadat jawa « kuno » itu.

Hal yang sangat disayangkan ketika suatu saat Bhanu mengatakan bahwa jiwanya telah kehilangan hakiki sebagai lelaki. Jiwanya telah terampas oleh ikatan adat yang masih dipelihara. Bahkan pada akhirnya Bhanu harus kehilangan Sukarsih, harus kehilangan segala-galanya. Bibirnya kini keluh setiap bertemu gadis. Biarlah semua disimpannya dalam kekeluan di dadanya. Bahkan kejantanan yang seharusnya dia miliki kini nampak pudar bagai lampu lentera yang terombang ambing angin. Hari-harinya hanya menghitung hari tanpa sedikitpun mengurus seperti apa kehidupan di depan sana ? (Fiksi :Nanang Kristyo)


Album Reuni SMA -ku